JAM Pidum Restorative Justice: Dua Kasus di Kalsel Diakhiri dengan Perdamaian, Bukan Penjara!
KALSELBABUSSALAM.COM
BANJARMASIN - Kebijakan berani ditetapkan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung RI, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., yang menyetujui penghentian penuntutan terhadap dua kasus pidana di Kalimantan Selatan dengan pendekatan Keadilan Restoratif. Keputusan ini disampaikan dalam ekspose yang melibatkan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Yudi Triadi, S.H., M.H., bersama para pejabat lainnya pada Senin, 11 November 2024.
Penghentian penuntutan ini mencakup dua perkara di Kejaksaan Negeri Tapin dan Hulu Sungai Utara. Kasus pertama adalah kecelakaan lalu lintas berujung kematian, sementara kasus kedua menyangkut dugaan penganiayaan ringan. Keduanya memenuhi syarat penerapan Keadilan Restoratif berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, yang membuka jalan bagi penyelesaian kasus melalui perdamaian.
Kasus pertama yang melibatkan kecelakaan lalu lintas ini terjadi di Kejaksaan Negeri Tapin. Tersangka, Muhammad bin H. Tholib, dikenai dakwaan Pasal 310 Ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada 7 Agustus 2024, ia mengalami kecelakaan saat mengemudikan kendaraannya dari Barabai menuju Banjarmasin dengan kecepatan sekitar 75 km/jam. Dari arah berlawanan, korban, Khairil Anwar bin Jailani, yang sedang mengendarai sepeda motor bersama anaknya, Aqila Misha Shafana, mengalami tabrakan fatal saat mencoba menyalip mobil lain.
Akibat kecelakaan itu, kedua korban meninggal di tempat. Berdasarkan hasil visum RSUD Datu Sanggul, korban menderita trauma tumpul yang menyebabkan kematian seketika. Meskipun peristiwa ini meninggalkan duka mendalam, pihak keluarga korban memutuskan untuk berdamai. Tersangka, yang tidak memiliki catatan pidana sebelumnya, menyesali perbuatannya dan bersedia memberikan tali asih sebesar Rp 50 juta serta menanggung biaya perbaikan sepeda motor sebesar Rp 12 juta. Dengan dasar ini, Kejaksaan Negeri Tapin memutuskan bahwa penghentian penuntutan dapat diterapkan.
Salah satu anggota keluarga korban mengungkapkan, "Kami sepakat memandang kejadian ini sebagai musibah, dan keluarga korban telah mengikhlaskan." Penghentian penuntutan ini sekaligus menutup episode pilu dengan nuansa ketulusan yang membawa kedamaian.
Kasus kedua berlokasi di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, yang menjerat tersangka Sugianor alias Ugi bin H. Bani dengan dakwaan Pasal 351 Ayat (1) KUHP atas tindakan penganiayaan ringan. Kejadian bermula pada 27 Agustus 2024 di sebuah warung saat terjadi perselisihan antara korban dan saksi. Sugianor, yang mencoba melerai perselisihan, justru terlibat dalam perkelahian dengan korban. Namun, situasi ini cepat diredam, dan baik korban maupun tersangka akhirnya sepakat untuk berdamai. Sugianor pun mengakui kesalahannya, dan keluarga korban menerima kompensasi yang diberikan.
Pendekatan damai dalam kasus ini dianggap sebagai langkah yang bijak, mengingat situasi yang terjadi di luar niatan jahat dan lebih dilatari emosi sesaat. Pihak kejaksaan pun menilai penyelesaian damai ini sebagai solusi yang sejalan dengan prinsip keadilan restoratif, dengan memprioritaskan harmoni di tengah masyarakat.
Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum ini telah mendapat tanggapan positif dari masyarakat di Kalimantan Selatan. Pendekatan yang mengedepankan perdamaian dinilai sejalan dengan semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang tumbuh subur di daerah ini. Langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi kepadatan di lembaga pemasyarakatan serta menciptakan efek jera yang lebih bermakna bagi para pelaku melalui proses penyesalan dan pemulihan di hadapan keluarga korban.
Upaya Kejaksaan Agung RI dalam mengedepankan Keadilan Restoratif mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara hukum dan nilai-nilai sosial. Di saat kasus-kasus kriminalitas kerap meresahkan, penyelesaian yang mengutamakan perdamaian seperti ini menjadi oase di tengah dinamika hukum yang kompleks.(Ainah)